Tampilkan postingan dengan label Tentang Blora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Blora. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2013

Video Kearifan Lokal Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora

Berikut sedikit video cuplikan tentang kehidupan sedulur sikep (samin) yang ada di Ds.Sumber Kec.Kradenan dan di Ds.Sambongrejo Kec.Sambong :



Sumber : DPPKKI Blora - ms-infoBlora

Rabu, 15 Mei 2013

Video Sedulur Sikep "Samin" Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora

Berikut cuplikan video masyarakat penganut ajaran samin di Desa Klopoduwur Kec. Banjarejo Kab. Blora, beserta keterangan dari Mbah Lasio yang merupakan keturunan Mbah Engkrik (salah satu kerabat Samin Surosentiko) dan Winarno sekertaris Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi.


Selasa, 14 Mei 2013

Seni Barongan Blora, Sejarah dan Perkembangannya

Barongan Blora. Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan Kesenian Barongan merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya.

Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat : spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.
Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas.

Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga GEMBONG AMIJOYO yang berarti harimau besar yang berkuasa. Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu : Bujangganong / Pujonggo Anom Joko Lodro / Gendruwo Pasukan berkuda / reog Noyontoko Untub.

Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain : Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari.

Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo Barong.

Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut :
Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga mendatangkan saudara sepeguruannya yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong ( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya.
Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji. Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi manusia ( Gembong Amijoyo ) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari Kerajaan Bantarangin.
Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.

Seni Barongan di Kabupaten Blora berkembang pesat dan terus eksis di tengah kehidupan masyarakat. Bayangkan saja, dari 295 desa di Kabupaten Blora, terdapat 625 paguyuban kesenian barongan. Artinya, setiap desa minimal memiliki dua grup kesenian barongan.

Apalagi, beberapa budaya tradisi mensyaratkan keterlibatan kesenian barongan di dalamnya. Seperti tradisi sedekah bumi, tradisi bersih desa, tradisi lamporan dll. Tradisi lamporan merupakan ritual tolak bala yang berasal dari Desa/Kelurahan Kunden, misalnya, mengharuskan keterlibatan barongan. Bahkan, justru Singo Barong yang dianggap sebagai pengusir tolak bala.

Tak mengherankan bila kesenian barongan sangat populer dan sangat lekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Blora. Mereka beranggapan bahwa barongan telah berhasil mewakili sifat-sifat kerakyatan mereka, seperti spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, tegas, kekompakan, dan keberanian yang didasarkan pada kebenaran.(dok.infoBlora)

Kamis, 11 April 2013

ARTI LAMBANG BLORA

CUPU MANIK (HASTA GINA)
Yang berbentuk segi lima melambangkan dasar falsafah Negara, yaitu Pancasila.

GUNUNG KEMBAR
Kesetiaan rakyat Daerah Kabupaten Blora terhadap Pemerintahan Republik Indonesia. Kecintaan rakyat Daerah Kabupaten Blora terhadap Daerahnya.

POHON ENAM BATANG berwarna Hijau berpadu dengan MENARA MINYAK berwarna Putih
Melambangkan kekayaan utama daerah Kabupaten Blora

SUNGAI (Lusi dan Bengawan Solo) yang dilukiskan dengan dua jalur bergelombang dan berwarna Biru.
Melambangkan penyaluran usaha-usaha pemerintah demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Menggambarkan bahwa kemakmuran daerah Kabupaten Blora antara lain tergantung kepada pemanfaatan air dari kedua sungai tersebut.

TRISULA
Bertangkai Merah dan berwarna Putih mempunyai arti jiwa kepahlawanan rakyat Daerah Kabupaten Blora, berani bekerja, berani berkorban, dan berani menghadapi kesulitan ketiganya berlandaskan itikad baik.

LINGKARAN berwarna Kuning Emas
Melambangkan sebagai kesatuan dan kedaulatan tekad rakyat Daerah Kabupaten Blora

KALA MAKARA
Sebagai Lambang Kebudayaan dan kesenian daerah rakyat daerah Kabupaten Blora

BINTANG SUDUT LIMA berwarna Kuning Emas
Sebagai lambang segala yang paling tinggi (Tuhan Yang Maha Esa) dan yang harus diagungkan demi keselamatan rakyat lahir dan bathin

PADI dan KAPAS
Motif Dwi Tunggal sebagai lambang kemakmuran

Sesanti Daerah yang berbunyi "CACANA JAYA KERTA BUMI "
Yang diartikan : tempat (arena, medan) kejayaan, kemakmuran dan kedamaian yang langgeng, atau dengan kata lain : "Bumi Kabupaten Blora ini mengandung kekayaan alamiah yang besar, yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan syarat harus berani bekerja keras (makarya)"

Selasa, 21 Agustus 2012

Samin dan Ajaran




Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.




Tokoh perintis ajaran Samin Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, Lelaki kelahiran tahun 1859. Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. KyaiSamin Surosantiko gerakan agresif revolusioner, Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun1914, Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius. Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Sebagainya. Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran SaminTersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, JawaTimur.Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak  pengikut Samin. Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan PergerakanSamin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampaitahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen,dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.

Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutanuntuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur.Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin
yang disebarkan oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:

tidak bersekolah

tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkandi kepala mirip orang Jawa dahulu

tidak berpoligami

tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut

tidak berdagang

Penolakan terhadap kapitalisme.Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup MasySamin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya danTradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlumendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Saminyang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisiuntuk kelanggengan keyakinan.Pokok-pokok ajaran Saminisme Pokok ajaran Samin
adalah sebagai berikut:

Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda- bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari ataumembenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.

Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan sukamengambil milik orang.

Bersikap sabar dan jangan sombong.

Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama denganroh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orangyang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.

Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati.
Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan Kitab Suci Orang Samin orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi,Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah " Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni.

"Riwayat hidup SaminSamin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren,Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saatitu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin.Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengangelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914.Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnyamenyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin dikawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, KabupatenTuban, namun gagal.Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak.Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-caraunik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak,

"Iki duwite sopo? " (bahasaJawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri.Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo,Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain.Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbaukepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak maumembayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintahBelanda terhadap para pengikut Samin.Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namunteror terus dilanjutkan oleh pemerintahBelanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.[sunting]Sikap Orang SaminWalaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetapmenilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.[sunting]Bahasa Orang Samin Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawangoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian Orang SaminPakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untukpakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatanDalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa padaumumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalumengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Saminmemiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajatsekalipun tempat tinggalnya jauh.
Pernikahan bagi orang SaminMenurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alatuntuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan ³

Atmaja (U)Tama´ (anak yangmulia).Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskanmengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : ³ Sejak Nabi Adam pekerjaansaya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama«« Saya berjanji setiakepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.´Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnyayang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orangtua pengantin.Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur, orang Samin adalah sebagai berikut(dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa Terjemahan
³
Saha malih dadya garan
, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi
, untuk melatih budi yang ditata,
 palakrama nguwoh mangun
, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya
, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk 
,terserempet, tersandung sampai kebajikan yangdicapai,
ambudya atmaja 'tama
, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.
´ mudah-mudahan menjadi tuntunan."Sikap terhadap lingkungan Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak  jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.Upacara dan tradisi Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran,khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.Masyarakat Samin saat ini Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralat rumahtangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.

Asal-Usul Nama Blora dan Sejarah Singkat



kitlv.pictura-dp.nl


Menurut cerita rakyat, Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur. 


Pada abad XVI Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Kerajaan Demak.  Daerah kekuasaan Kadipaten Jipang meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.Kerajaan Pajang tidak lama memerintah Kadipaten Jipang, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Saat Kerajaan Pajang jatuh di tangan Kerajaan Mataram, Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. 
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya .

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

 Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan olehPemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) .



Di daerah-daerah lain diJawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon padatahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawananterhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko. Gerakan Saminsebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitusuatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan inimempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan danmengharapkan zaman emas yang makmur.
 

sumber: blorakab.go.id

Wilayah Blora



Secara geografis Kabupaten Blora terletak di antara 111°016' s/d 111°338' Bujur Timur dan diantara 6°528' s/d 7°248' Lintang Selatan. Secara administratif Kabupaten Blora sebelah utara bersebelahan langsung dengan Kabupaten Rembang, di sebelah timur bersebelahan dengan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) dan di sebelah barat bersebelahan dengan Kabupaten Grobogan.

Luas wilayah administrasi Kabupaten Blora 1820,59 km² (182058,797 ha) memiliki ketinggian 96,00-280 m di atas permukaan laut, Wilayah Kecamatan terluas terdapat di Kecamatan Randublatung dengan luas 211,13 km² sedangkan tiga kecamatan terluas lainnya adalah Kecamatan Jati, Jiken dan Todanan yang masing-masing mempunyai luas 183,62 km², 168,17 km² dan 128,74 km². untuk ketinggian tanah kecamatan Japah relatif lebih tinggi dibanding kecamatan yang lain yaitu mencapai 280 meter dpi. Kabupaten Blora dengan luas wilayah 1820,59 Km², terbesar penggunaan arealnya adalah sebagai hutan yang meliputi hutan negara dan hutan rakyat, yakni 49,66 % terbagi dalam tiga kesatuan administrasi yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu dan KPH Blora, tanah sawah 25,38 % dan sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan, waduk, perkebunan rakyat dan lain-lain yakni 24,96 % dari seluruh penggunaan lahan. Luas penggunaan tanah sawah terbesar adalah Kecamatan Kunduran (5559,2174 Ha) dan Kecamatan Kedungtuban (4676,7590 Ha) yang selama ini memang dikenal sebagai lumbung padinya Kabupaten Blora. Sedangkan kecamatan dengan areal hutan luas adalah Kecamatan Randublatung, Jiken dan Jati, masing-masing melebihi 13 ribu Ha. Untuk jenis pengairan di Kabupaten Blora, 12 kecamatan telah memiliki saluran irigasi teknis, kecuali Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kecamatan Japah yang masing-masing memiliki saluran irigasi setengah teknis dan tradisional. Waduk sebagai sumber pengairan baru terdapat di tiga Kecamatan Tunjungan, Blora, dan Todanan disamping dam-dam penampungan air di Kecamatan Ngawen, Randublatung, Banjarejo, Jati, Jiken.
Kabupaten Blora memiliki 16 kecamatan
Kecamatan Bogorejo

 yang terdiri 271 desa dan 24 kelurahan. Yang keseluruhannya terdiri dari 941 dusun, 1.204 RW dan 5.429 RT. Enam kecamatan memiliki wilayah kelurahan (Randublatung, Cepu, Jepon, Blora, Ngawen, dan Kunduran). Kecamatan Ngawen memiliki desa/kelurahan terbanyak (27 desa dan 2 kelurahan) sedangkan kecamatan Sambong dan Kradenan memiliki desa/kelurahan paling sedikit masing-masing dengan 10 desa.
Mayoritas mata pencaharian penduduk Kabupaten Blora adalah petani, utamanya pertanian tanaman pangan. Hal ini menjadikan Kabupaten Blora sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah. Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Blora hanya perkebunan rakyat. Luas dan produksi tidak terlalu banyak. Satu lagi yang menjadi andalan utama penduduk Kabupaten Blora selain padi dan palawija adalah usaha ternak. Kabupsten Blora merupakan kabupaten dengan jumlah ternak besar terbanyak di Propinsi Jawa Tengah, utamanya ternak sapi potong. Produksi perikanan yang ada di Kabupaten Blora didominasi oleh perikanan umum sebesar 251 ribu ton berasal dari sungai. Kabupaten Blora memiliki 61 unit pasar Desa dan Tradisional yang tersebar di berbagai wilayah di Kabupaten Blora.


Sabtu, 04 Agustus 2012

Pramoedya Ananta Toer dan Aku

Pramoedya Ananta Toer, seorang pria pemberani dan survive dalam segala hal. Lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925 – 30 April 2006.
Ya, itulah sekilas tentang apa yang dia tulis di dalam buku-bukunya. Acara peringatan 4 tahun meninggalnya Pramoedya (zine acara Panggil Aku Kartini Saja) yang diperingati tanggal 29-30 April kemarin di rumahnya Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, membawa aku lebih mengetahui Pram tentang tulisannya, kehidupannya dan bagaimana dia di tengah-tengah keluarganya.


Di sana aku berkenalan secara singkat dengan saudara dari Pramoedya yaitu Bapak Soesilo Toer yang terlihat renta dan sudah tua namun masih tetap memiliki sebuah enlightment dalam menjalani hari-harinya.
Berawal ketika aku telah selesai mengikuti sebuah festival di Jakarta, aku berangkat pergi menuju sebuah kota penghasil sapi terbanyak di Jawa Tengah, Blora. Aku diundang dalam acara Pram oleh salah seorang temanku yang merupakan anggota Komunitas Anak Seribupulau atau lebih dikenal dengan sebutan ASP, sebuah komunitas yang merupakan panitia penyelenggara acara peringatan penulis yang selalu dikenang, Pramoedya Ananta Toer.
Karya-karya Pram ini begitu sangat menakjubkan. Mulai dari karya pertamanya yaitu ‘Sepuluh Palanika’ menurut cerita dari Bapak Soes, adik Pram yang ke-6 yang mengaku merupakan adik kebanggaan Pram, beliau bercerita banyak mengenai kisah menarik tentang Pram. Bercerita mengenai pertemuannya dengan Pram yang terpisah selama 17 tahun membuat wajah kusutnya terbasahi oleh buliran-buliran air-air jernih dari lubang matanya yang masih tetap sehat. Aku pun merasa takjub ketika melihatnya membaca Koran sambil dia bercerita tidak dengan memakai kacamata padahal usianya sudah lebih dari 70 tahun.
Beliau mengisahkan, bahwa Pram menulis berawal karena terinspirasi dari penulis Maxim Gorky (Rusia) berjudul Mat (Ibunda),  yang bercerita tentang seorang istri yang suaminya suka mabuk dan kasar terhadap dirinya dan dia memiliki seorang Putra yang pada akhirnya melindungi dirinya dari kekasaran suaminya. Salah seorang penulis lagi yang menjadi inspirasi bagi Pram yaitu Thomas Mann dari Jerman.
Buku yang dihadirkan oleh Pram semuanya menarik, apalagi yang berjudul Bumi Manusia yang ia buat hingga menjadi 4 tetralogi kemudian diterjemahkan dalam 40 bahasa dan tersebar di berbagai Negara. Buku ini ditulis Pram saat ia masih mendekam di Pulau Buru sebagai Tahanan Politik (Tapol), di mana ada sekitar 10 ribu tapol yang ditahan di sana, termasuk Pram serta kedua adiknya.
Salah satu foto Pram yang menghiasi rumahnya
Salah satu bukunya lagi yang berjudul ‘Bukan Pasar Malam’ menceritakan tentang kematian ayahnya berikut adiknya, Pak Soesilo juga turut ia ceritakan di dalamnya. Serta sebuah buku yang berjudul ‘Gadis Pantai’ Pak Soes ceritakan kepadaku dengan sangat ramah dan selalu tersenyum karena senang aku bisa menjadi pendengar yang baik. Meski sesekali kadang aku melihat ada titik-titik air yang mengumpul di kelopak matanya yang membuat matanya merah dan beliau pun mengakui bahwa beliau orangnya suka menangis sedari dulu. Pak Soes bilang kepadaku, karena dia orang yang cengeng dan suka menangis akhirnya matanya tetap sehat di usianya yang sudah rentan. Sesekali matanya terlihat berkaca-kaca hanya karena nama Pramoedya Ananta Toer disebut. Memang aku pikir dia sangat menyayangi kakaknya yang menganggap dia sebagai adik kebanggaan karena dinilai sebagai adik yang cukup pintar dan dapat memperolah pendidikan yang tinggi ketimbang adik-adiknya yang lain di mata Pram.
Ketika Pak Soes menceritakan kepadaku mengenai Pram dan keluarganya, Pram merupakan seorang anak yang sangat tegas terhadap adik-adiknya yang berjumlah delapan orang. Ibunya meninggal saat  usia Pram baru 17 tahun, kemudian ayahnya pun ikut mangkat di usia Pram yang baru 25 tahun, meninggalkan Pram dengan tanggungan delapan saudaranya.
Sekilas menceritakan buku Pram yang berjudul ‘Gadis Pantai’, isi bukunya menceritakan kisah hidup neneknya yang dinikahi kemudian diusir dari rumah suaminya setelah memiliki seoarang putri dan harus ia tinggalkan di rumah suaminya. Seorang bayi perempuan yang terpisah dari ibunya itu ialah tak lain ibu dari Pramoedya Ananta Toer. Sangat menyentuh hatiku ketika membacanya meski belum sampai selesai. Membaca di perpustakaan milik penulis buku yang aku baca berikut dihadirkan pigura-pigura gambar Pram dan kisah-kisah yang Pak Soes ceritakan kepadaku, sangat menyatu dan penuh makna.
Cerita di atas, bagiku sangat penuh arti, cerita-cerita dari Pak Soes, acara peringatan di rumah Pram serta semangat-semangat yang dihadirkan Pram melalui karya-karyanya menjadi sebuah motivasi tersendiri bagiku pribadi. Menulis merupakan salah satu cara untuk mengemukakan apa yang kita pikirkan, rasakan dan inginkan serta mampu mempengaruhi masyarakat secara luas dari apa yang kita tulis. Itulah Pram, dan aku memiliki angan untuk menjadi yang berikutnya.

Elinah ( akumassa.org )





Diberdayakan oleh Blogger.

 

© 2013 INFOBLA. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top