BLORA. Belum adanya aturan yang mengatur soal penambangan mineral dan batuan non logam (minerba) atau yang dikenal dengan galian tipe C, menyebabkan bermunculannya tambang liar di beberpa wilayah Kabupaten Blora.
Saat ini ratusan tambang liar galian C tersebut beroperasi tanpa ijin. Akibatnya potensi pendapatan puluhan miliar yang semestinya bisa dipungut menjadi hilang. "Berdasarkan pendataan yang kami lakukan, sedikitnya ada 283 tambang liar tersebut," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Blora, Setyo Edy kemarin (12/5).
Ratusan tambang itu, kata dia tersebar di sejumlah wilayah kecamatan di Blora. Rata-rata penambangan yang tak berijin itu merupakan penambangan tanah merah, tanah urug, bahan keramik, pasir, pasir kuarsa, pasir hitam, batu kapur, dan bahan tambang lainnya. Jika bisa dilakukan pungutan semua penambangan itu bisa menyumbang pendapatan yang cukup besar. Belum lagi jika ditarik retribusi atas penggunaan air tanahnya. "Saya memperkirakan sekitar Rp 20 miliar bisa kita dapat. Sehingga PAD bisa sampai Rp 100 miliar bukan hanya mimpi," terangnya.
Tetapi, untuk mengutip retribusi tersebut, Pemkab belum bisa karena belum punya peraturan daerah (perda) tentang tambang galian C. Saat ini rancangan perda tersebut telah lama ngendon di DPRD Blora, padahal sudah bertahun-tahun rancangan perda itu diserahkan ke dewan, namum belum dibahas dan belum selesai hingga sekarang. Sementara aktifitas penambangan terus berjalan. Banyak wilayah di Blora yang rusak karena terus ditambang, sedangkan pendapatan tidak bisa didapat. Bahkan jalan di Blora banyak yang rusak karena dilalui angkutan tambang tersebut. "Termasuk penambangan tanah urug proyek double track itu tak dapat apa-apa. Kami harap perda segera disahkan," ungkapnya.
Dia mengatakan saat ini sedang digodog perda pertambangan mineral, logam, batuan dan non logam. Karena sesuai Undang-undang (UU) No. 4 tahun 2009 mengenai mineral dan batuan, kewenangan menjadi milik pemerintah daerah. Sebelumnya perijinan menjadi kewenangan propinsi. Menurut dia, semua aturan yang telah ada draftnya di bagian hukum. Antara lain raperda air tanah, tambang, galian C dan lainnya. "Aturan itu yang sedang dibahas dewan," jelasnya.
Blora, lanjut dia cukup banyak memiliki potensi pertambangan mineral non logam, galian C dan batuan. Penambang liar leluasa karena Pemkab tidak bisa berkutik untuk melarang karena belum adanya perda yang mengatur. Seperti misalnya penambangan tanah urug di tikungan Polaman (Medang) arah Rembang, Desa Sitirejo, dan sejumlah desa di Kec. Bogorejo, Jepon, Japah, Todanan itu cukup memberi bukti. Lokasi penambangan menimbulkan lubang-lubang besar di tanah sehingga lingkungan menjadi rusak. "Kedepan akan kita benahi. Karena selain merusak alam juga menimbulkan kerusakan jalan-jalan yang dilalui kendaraan pengangkut hasil galian tersebut," tandasnya.
Selain itu penambangann pasir bengawan solo dengan menggunakan alat sedot juga akan ditertibkan. Selama ini kegiatan itu berjalan tanpa kendali, karena belum ada aturan yang menjadi dasar hukum untuk melarangnya. Padahal penambangan pasir dengan mesin juga bisa merusak alam. (rs-infoBlora)
Saat ini ratusan tambang liar galian C tersebut beroperasi tanpa ijin. Akibatnya potensi pendapatan puluhan miliar yang semestinya bisa dipungut menjadi hilang. "Berdasarkan pendataan yang kami lakukan, sedikitnya ada 283 tambang liar tersebut," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Blora, Setyo Edy kemarin (12/5).
Ratusan tambang itu, kata dia tersebar di sejumlah wilayah kecamatan di Blora. Rata-rata penambangan yang tak berijin itu merupakan penambangan tanah merah, tanah urug, bahan keramik, pasir, pasir kuarsa, pasir hitam, batu kapur, dan bahan tambang lainnya. Jika bisa dilakukan pungutan semua penambangan itu bisa menyumbang pendapatan yang cukup besar. Belum lagi jika ditarik retribusi atas penggunaan air tanahnya. "Saya memperkirakan sekitar Rp 20 miliar bisa kita dapat. Sehingga PAD bisa sampai Rp 100 miliar bukan hanya mimpi," terangnya.
Tetapi, untuk mengutip retribusi tersebut, Pemkab belum bisa karena belum punya peraturan daerah (perda) tentang tambang galian C. Saat ini rancangan perda tersebut telah lama ngendon di DPRD Blora, padahal sudah bertahun-tahun rancangan perda itu diserahkan ke dewan, namum belum dibahas dan belum selesai hingga sekarang. Sementara aktifitas penambangan terus berjalan. Banyak wilayah di Blora yang rusak karena terus ditambang, sedangkan pendapatan tidak bisa didapat. Bahkan jalan di Blora banyak yang rusak karena dilalui angkutan tambang tersebut. "Termasuk penambangan tanah urug proyek double track itu tak dapat apa-apa. Kami harap perda segera disahkan," ungkapnya.
Dia mengatakan saat ini sedang digodog perda pertambangan mineral, logam, batuan dan non logam. Karena sesuai Undang-undang (UU) No. 4 tahun 2009 mengenai mineral dan batuan, kewenangan menjadi milik pemerintah daerah. Sebelumnya perijinan menjadi kewenangan propinsi. Menurut dia, semua aturan yang telah ada draftnya di bagian hukum. Antara lain raperda air tanah, tambang, galian C dan lainnya. "Aturan itu yang sedang dibahas dewan," jelasnya.
Blora, lanjut dia cukup banyak memiliki potensi pertambangan mineral non logam, galian C dan batuan. Penambang liar leluasa karena Pemkab tidak bisa berkutik untuk melarang karena belum adanya perda yang mengatur. Seperti misalnya penambangan tanah urug di tikungan Polaman (Medang) arah Rembang, Desa Sitirejo, dan sejumlah desa di Kec. Bogorejo, Jepon, Japah, Todanan itu cukup memberi bukti. Lokasi penambangan menimbulkan lubang-lubang besar di tanah sehingga lingkungan menjadi rusak. "Kedepan akan kita benahi. Karena selain merusak alam juga menimbulkan kerusakan jalan-jalan yang dilalui kendaraan pengangkut hasil galian tersebut," tandasnya.
Selain itu penambangann pasir bengawan solo dengan menggunakan alat sedot juga akan ditertibkan. Selama ini kegiatan itu berjalan tanpa kendali, karena belum ada aturan yang menjadi dasar hukum untuk melarangnya. Padahal penambangan pasir dengan mesin juga bisa merusak alam. (rs-infoBlora)
0 komentar:
Posting Komentar