MUSIK hadrah atau rebana kini telah banyak dimodifikasi. Peralatan musik modern seperti drum, gitar bahkan organ kerap dijumpai kala grup musik hadrah tampil. Warga yang menyukai musik itupun tak terbilang banyaknya, tapi hal itu tidak membuat gundah praktisi musik jedoran. Mereka tetap berupaya menggunakan peralatan musik tradisional seperti rebana dan beduk ketika tampil memenuhi undangan warga.
Suara yang ditabuh tangan terdengar selaras dengan bunyi beduk. Sesekali berirama cepat dan rancak namun kemudian landai. Syair lagu berbahasa Arab mengiringi alunan musik yang diperdengarkan. Begitulah sekilas musik jedoran itu.
Menjamurnya grup hadrah atau musik rebana modern yang sudah menggunakan alat musik modern pula membuat grup musik jedoran hanya bisa bertahan guna mempertahankan tradisi agar tidak punah.
Di wilayah Blora Kota, diperkirakan hanya ada sekitar tiga grup jedoran. Salah satunya yakni grup Al-Mujahidin. Dengan beranggotakan 12 orang, grup asal Desa Gedongsari, Kecamatan Banjarejo itu berusaha tetap bertahan di tengah semakin menjamurnya rebana modern.
"Biasanya tampil kalau ada orang punya hajat mengkhitankan anaknya atau kalau ada melekan selapanan bayi. Itupun di desa-desa. Kalau di kota sudah tidak laku" ujar Fauzan, pemimpin jedoran ini ketika ditemui di sela-sela pementasan di rumah salah seorang warga di Kelurahan Mlangsen.
Kalangan Tua
Karena keberadaannya yang sudah jarang, para penabuh didominasi kalangan tua. Mereka rata-rata berumur di atas 40 tahun. "Minim sekali anak muda yang mau belajar jedoran," kata Fauzan.
Sepuluh tahun lalu, grup jedoran laris saat ada orang hajatan. Mulai dari khitanan, selapanan bayi atau resepsi pernikahan grup musik jedoran menjadi penghibur.
Tapi, sekarang musik ini hanya laku untuk hajatan khitanan atau selapanan bayi saja. Itupun hanya di desa-desa atau warga kota yang masih memegang tradisi ini.
Untuk sekali pentas, grup tidak mematok harga pasti. Mereka menerima imbalan sesuai pemberian tuan rumah.
"Diundang untuk meramaikan suasana saja mereka sudah senang. Ini juga untuk menghidupkan tradisi jedoran yang sudah hampir punah," ujar Fauzan.
Syair-syair lagu yang diperdengarkan sebenarnya unik dan cukup mengesankan. Biasanya, musik ini menembangkan syair-syair dari kitab Al Barzanji yang lazim didendangkan santri. Karena itu, pemain musik ini juga berpakaian seperti santri. Bersarung dan berpeci.
Penabuh butuh keahlian khusus, karena jedoran mempunyai pakem sendiri. Lirik-lirik lagunya yang dibuat sendiri dengan suara mendayu-dayu membutuhkan kejelian, sehingga selaras dengan musik yang mengiringi. (Suara Merdeka - InfoBlora)
Video salah satu grup Jedoran Desa Sarimulyo Dukuh Pudak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora
Suara yang ditabuh tangan terdengar selaras dengan bunyi beduk. Sesekali berirama cepat dan rancak namun kemudian landai. Syair lagu berbahasa Arab mengiringi alunan musik yang diperdengarkan. Begitulah sekilas musik jedoran itu.
Menjamurnya grup hadrah atau musik rebana modern yang sudah menggunakan alat musik modern pula membuat grup musik jedoran hanya bisa bertahan guna mempertahankan tradisi agar tidak punah.
Di wilayah Blora Kota, diperkirakan hanya ada sekitar tiga grup jedoran. Salah satunya yakni grup Al-Mujahidin. Dengan beranggotakan 12 orang, grup asal Desa Gedongsari, Kecamatan Banjarejo itu berusaha tetap bertahan di tengah semakin menjamurnya rebana modern.
"Biasanya tampil kalau ada orang punya hajat mengkhitankan anaknya atau kalau ada melekan selapanan bayi. Itupun di desa-desa. Kalau di kota sudah tidak laku" ujar Fauzan, pemimpin jedoran ini ketika ditemui di sela-sela pementasan di rumah salah seorang warga di Kelurahan Mlangsen.
Kalangan Tua
Karena keberadaannya yang sudah jarang, para penabuh didominasi kalangan tua. Mereka rata-rata berumur di atas 40 tahun. "Minim sekali anak muda yang mau belajar jedoran," kata Fauzan.
Sepuluh tahun lalu, grup jedoran laris saat ada orang hajatan. Mulai dari khitanan, selapanan bayi atau resepsi pernikahan grup musik jedoran menjadi penghibur.
Tapi, sekarang musik ini hanya laku untuk hajatan khitanan atau selapanan bayi saja. Itupun hanya di desa-desa atau warga kota yang masih memegang tradisi ini.
Untuk sekali pentas, grup tidak mematok harga pasti. Mereka menerima imbalan sesuai pemberian tuan rumah.
"Diundang untuk meramaikan suasana saja mereka sudah senang. Ini juga untuk menghidupkan tradisi jedoran yang sudah hampir punah," ujar Fauzan.
Syair-syair lagu yang diperdengarkan sebenarnya unik dan cukup mengesankan. Biasanya, musik ini menembangkan syair-syair dari kitab Al Barzanji yang lazim didendangkan santri. Karena itu, pemain musik ini juga berpakaian seperti santri. Bersarung dan berpeci.
Penabuh butuh keahlian khusus, karena jedoran mempunyai pakem sendiri. Lirik-lirik lagunya yang dibuat sendiri dengan suara mendayu-dayu membutuhkan kejelian, sehingga selaras dengan musik yang mengiringi. (Suara Merdeka - InfoBlora)
Video salah satu grup Jedoran Desa Sarimulyo Dukuh Pudak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora
0 komentar:
Posting Komentar