BLORA. Kabupaten Blora adalah kabupaten di ujung timur Jawa Tengah. Kabupaten dengan luas 1.820,59 km² itu memiliki komposisi susunan tanah 56% gromosol, 39% mediteran, dan 5% alluvial. Tanah gromosol cocok untuk pertanian karena berlempung, demikian pula tanah alluvial yang merupakan hasil pengendapan aliran sungai. Berbeda dengan tanah mediteran atau tanah kapur yang tidak subur dan bukan tanah yang baik untuk mengikat air tanah. Keberadaan tanah mediteran yang mencapai 39% luas wilayah menyebabnya sebagian wilayah Blora adalah wilayah yang rawan kekeringan. Itulah sebabnya Blora juga dikenal sebagai daerah sulit air.
Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati dan minyak bumi, karena 49,66% wilayahnya adalah hutan jati dan di salah satu Kecamatan di Blora, yaitu (Blok) Cepu ditemukan cadangan 250 juta barel minyak bumi yang pada tahun 1899 sudah dilakukan ekploitasi. Hanya saja sejak terjadi penjarahan kayu jati, luas hutan jati telah berkurang, sedangkan besarnya cadangan minyak bumi tetap menempatkan Blora (Cepu) sebagai lumbung minyak yang menggiurkan. Heboh kasus Exxon Mobil yang sempat merebak beberapa waktu lalu mengindikasikan hal ini.
Sumber daya alam berupa kayu jati dan minyak bumi tidak lantas membuat Kabupaten Blora menjadi kabupaten kaya. UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diantaranya menetapkan kedua sumber daya alam tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat telah membuat Kabupaten Blora hanya mendapatkan ‘sisa-sisa’ kekayaannya.
Itulah salah satu alasan mengapa sampai saat ini Blora tetap saja menjadi kabupaten miskin, karena kekuatan ekonominya lebih banyak ditopang oleh sektor pertanian seluas 40% wilayah (72.502.33ha). Padahal 64.44% dari areal persawahan itu berupa sawah tadah hujan yang siklus pertaniannya mengandalkan musim. Bisa dibayangkan betapa minim produktifitas kabupaten ini. Tidak heran jika PDRD (Produk Domestik Regional Daerah) per kapita Blora pada tahun 2011 hanya sebesar Rp5,9juta, menduduki peringkat ke-33 dari 35 kabupaten di Jawa tengah. PDRD perkapita tersebut jauh lebih rendah dari PDRD perkapita rata-rata Propinsi Jawa Tengah tahun 2011 sebesar Rp15,4juta. Artinya rakyat Blora adalah rakyat termiskin ketiga di Jawa Tengah.
Nasib Kabupaten Blora sebenarnya tidak berbeda dengan kabupaten atau propinsi lain penghasil minyak bumi. Kalimantan Timur misalnya, yang terkenal sebagai sumber minyak bumi, pada tahun 2012 Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengaku selama 65 tahun Indonesia merdeka, propinsinya belum mampu membangun daerahnya, apalagi infrastruktur. Bahkan, Kaltim belum bisa membiayai kebutuhan dasar masyarakatnya. Maka wajar jika daerah penghasil minyak bumi menuntut pembenahan regulasi dana bagi hasil yang lebih adil.
Para Pakar Hukum Tata Negara seperti Prof Saldi Isra memberikan penjelasannya tentang hal ini yang menilai bahwa ketidak-adilan itu disebabkan oleh ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahun 2004 yang memberikan “lorong gelap” yang merugikan daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas).
“Kerugian itu disebabkan adanya frasa ‘pungutan lainnya’ dalam pasal itu sebelum dilakukan pembagian dengan daerah penghasil pertambangan migas,” kata Saldi saat diperiksa sebagai ahli pemohon dalam sidang lanjutan pengujian undang-undang PDRD di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (1/2/2012).
Makanya, kata Saldi, sangat masuk akal jika Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahunn 2004 dikatakan bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan pemanfaatan sumber daya alam diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras.
Regulasi yang lebih adil sebenarnya telah diberlakukan pemerintah di Propinsi NAD dan Papua dengan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan atau UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-undang tersebut diantaranya memerintahkan presiden untuk menerbitkan Perpu. Maka lebih arif jika bagi daerah lain termasuk Kaltim dan Jateng (Blora di dalamnya) juga diberlakukan ketentuan serupa yang nota bene lebih memberikan hak bagi daerah penghasil untuk memperoleh pendapatan yang lebih seimbang dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya.
Sudah saatnya fakta-fakta kontroversi semacam kasus Kabupaten Blora yang kaya sumber daya alam tetapi rendah PDRD perkapita bisa diselesaikan dengan pendekatan regulasi sebagaimana dikemukakan di atas. Tidak mengapa PDRD perkapita tahun 2011 masih rendah, tetapi jika defisit daerah bisa ditutup dengan bagi hasil daerah yang lebih besar, maka daerah akan lebih mandiri secara ekonomi untuk membenahi kelemahannya. Toh dana bagi hasil itu bisa didorong untuk digunakan membenahi sarana dan prasarana yang akan mempercepat perputaran roda ekonomi daerah sebagai penyangga tumbuhnya PDRD per kapita daerah itu. (AL-Kompasiana)
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar