Blora, -sebuah kabupaten di sisi timur tenggara Propinsi Jawa Tengah-, merupakan daerah berhawa panas dengan karakteristik tanah yang relatif tandus. Posisi geografis kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah selatan Kota Rembang ini berada di dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-300 m dpal, sehingga turut mempengaruhi iklim kehidupan alam Blora yang terkenal keras. Meskipun topografi daerah kaya minyak ini didominasi hutan jati, namun faktanya Blora berstatus “pelanggan tetap” korban derita alam akibat degradasi fungsi dan kualitas lingkungan, ulah tangan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Belitan krisis air di saat musin kemarau serta ancaman banjir dan longsor seakan menjadi sahabat tahunan warga Blora. Sungguh ironis memang.
Curah hujan yang rendah, rata-rata “hanya” 105 hari atau 1566 mm per tahun cukup membuat “kewalahan” pihak terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih. Salah satu solusi yang digagas adalah pembangunan tandon-tandon air, semisal embung, waduk ataupun kolam penampungan air, memanfaatkan air hujan yang biasanya turun di rentang bulan November hingga bulan Februari.
Dan salah satu karya “masterpiece” Pemda Kabupaten Blora adalah Waduk Tempuran. Wadah air raksasa ini terletak Desa Tempuran, Kecamatan Blora Kota, berjarak 15 km arah utara jantung Kota Blora. Luasan air yang menggenang seolah-olah melingkari Dusun Juwet sehingga kampung kecil nan permai ini tampak mengapung di tengah-tengah waduk. Sebuah miniatur Danau Toba dihiasi Pulau samosir di tengahnya.
Waduk yang dibangun di awal tahun 2000 ini seakan menjadi “obat pintar” menyiasati gersangnya alam bumi Blora. Selain memainkan peran utama sebagai sumber ketersediaan air bersih, air waduk dimanfaatkan pula sebagai sarana irigasi pertanian, tempat budidaya ikan air tawar, arena pemancingan, sarana even olahraga dayung tingkat lokal hingga nasional, serta dikreasikan menjadi tempat wisata berkonsep “duo tourism objects”, yaitu paket wisata alam digabung dengan wisata kuliner.
Rute utama yang ditempuh untuk mencapai lokasi adalah jalan raya Rembang-Blora. Bila kita dari arah Rembang, sesampai di perempatan Pasar Medang langsung berbelok kiri, menyusuri jalan sempit di tengah areal persawahan. Sewaktu kami sekeluarga ke sana, kami bertiga disuguhi pemandangan nan eksotis di kanan kiri jalan. Tunas muda pucuk-pucuk batang padi yang sedang tumbuh mengembang menghampar laksana permadani hijau royo-royo yang menyejukkan. Rimbunnya daun-daun jati seakan menjadi “kamuflase” untuk menyembunyikan ketidakramahan iklim kering daerah ini. Jajaran perbukitan kapur semakin menggenapi panorama indah lukisan alam, memanjakan setiap mata untuk meliriknya.
Sebelum memasuki kawasan wisata, kita akan menjumpai sebuah stasiun klimatologi kecil, yang dipakai untuk memantau keadaan cuaca di sekitar waduk. Stasiun ini mencatat setiap perubahan kecil dari temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan. Data-data ini sangat penting untuk pengaturan air waduk.
Source : http://cintanismara.multiply.com/journal/item/34/34
Curah hujan yang rendah, rata-rata “hanya” 105 hari atau 1566 mm per tahun cukup membuat “kewalahan” pihak terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih. Salah satu solusi yang digagas adalah pembangunan tandon-tandon air, semisal embung, waduk ataupun kolam penampungan air, memanfaatkan air hujan yang biasanya turun di rentang bulan November hingga bulan Februari.
Dan salah satu karya “masterpiece” Pemda Kabupaten Blora adalah Waduk Tempuran. Wadah air raksasa ini terletak Desa Tempuran, Kecamatan Blora Kota, berjarak 15 km arah utara jantung Kota Blora. Luasan air yang menggenang seolah-olah melingkari Dusun Juwet sehingga kampung kecil nan permai ini tampak mengapung di tengah-tengah waduk. Sebuah miniatur Danau Toba dihiasi Pulau samosir di tengahnya.
Waduk yang dibangun di awal tahun 2000 ini seakan menjadi “obat pintar” menyiasati gersangnya alam bumi Blora. Selain memainkan peran utama sebagai sumber ketersediaan air bersih, air waduk dimanfaatkan pula sebagai sarana irigasi pertanian, tempat budidaya ikan air tawar, arena pemancingan, sarana even olahraga dayung tingkat lokal hingga nasional, serta dikreasikan menjadi tempat wisata berkonsep “duo tourism objects”, yaitu paket wisata alam digabung dengan wisata kuliner.
Rute utama yang ditempuh untuk mencapai lokasi adalah jalan raya Rembang-Blora. Bila kita dari arah Rembang, sesampai di perempatan Pasar Medang langsung berbelok kiri, menyusuri jalan sempit di tengah areal persawahan. Sewaktu kami sekeluarga ke sana, kami bertiga disuguhi pemandangan nan eksotis di kanan kiri jalan. Tunas muda pucuk-pucuk batang padi yang sedang tumbuh mengembang menghampar laksana permadani hijau royo-royo yang menyejukkan. Rimbunnya daun-daun jati seakan menjadi “kamuflase” untuk menyembunyikan ketidakramahan iklim kering daerah ini. Jajaran perbukitan kapur semakin menggenapi panorama indah lukisan alam, memanjakan setiap mata untuk meliriknya.
Sebelum memasuki kawasan wisata, kita akan menjumpai sebuah stasiun klimatologi kecil, yang dipakai untuk memantau keadaan cuaca di sekitar waduk. Stasiun ini mencatat setiap perubahan kecil dari temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan. Data-data ini sangat penting untuk pengaturan air waduk.
Source : http://cintanismara.multiply.com/journal/item/34/34
0 komentar:
Posting Komentar