BLORA. Penyelenggaraan Pilgub Jateng baru saja kita lalui. Tapi dalam beberapa acara debat antarkandidat (kali terakhir pada Rabu, 22 Mei lalu atau 4 hari menjelang hari coblosan), baik lewat stasiun televisi swasta maupun forum lain, tak satu pun dari tiga pasangan cagub-cawagub itu berbicara secara spesifik mengenai persoalan migas di provinsi ini.
Dalam sejumlah kampanye pun, para kandidat tidak menyinggung pengelolaan potensi migas. Ketiga pasangan tersebut lebih banyak menawarkan program peningkatan pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Padahal Jawa Tengah memiliki cadangan potensial migas. Ada beberapa blok cadangan migas yang sedang dalam tahap eksplorasi, tapi ada beberapa yang sudah dieksploitasi.
Blok cadangan yang sudah dieksploitasi antara lain Blok Randugunting yang cekungan migasnya masuk wilayah Kabupaten Blora dan Rembang, Blok Gundih Kabupaten Grobogan, dan Blok Cepu Kabupaten Blora (sebagian cekungan masuk wilayah Bojonegoro Jatim).
Persoalannya, besar potensi itu tidak linier dengan sumbangan terhadap APBD Jateng, yang tahun 2012 tak lebih dari Rp 10 miliar.
Saat ini, minimal ada dua blok yang memiliki potensi migas cukup besar yang bisa dieksploitasi supaya bisa memberikan sumbangan signifikan pada struktur APBD provinsi ini. Pertama; proyek Pertamina Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora.
Eksploitasi oleh PT Pertamina itu guna memasok kebutuhan gas jaringan PLN melalui pipa, dari Desa Sumber Kecamatan Kradenan Blora hingga Tambaklorok Semarang, sejarak kurang lebih 140 km. Proyek itu diklaim sebagai proyek terbesar gas di Asia Tenggara dengan nilai Rp 12 triliun. Kapasitas maksimal produksi gas sumur di desa itu diperkirakan 65 million cubic feet tiap hari.
Kedua; Blok Cepu. Berbeda dari PPGJ, pengelolaan potensi Blok Cepu masih butuh kerja keras seluruh elemen di Jateng. Pasalnya hingga saat ini Pemkab Blora sebagai pemilik wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu, dan Pemprov Jateng, belum mendapatkan dana bagi hasil (DBH) migas dari blok yang dikelola PT Mobil Cepu Limited (MCL), anak perusahaan ExxonMobil.
Penyebabnya, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan pembagian dana bagi hasil harus mendasarkan pada lolasi mulut sumur migas. Saat ini baru sumur di Banyuurip Kecamatan Kalitidu Bojonegoro Jatim yang dieksploitasi oleh MCL. Meski secara geologi Blora dan Jawa Tengah punya 36% wilayah kerja pertambangan (WKP), dua pemda itu belum mendapatkan bagian dana bagi hasil (DBH).
Meski kita hanya memiliki 36% WKP, Blok Cepu bukan potensi kecil. Penelitian oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyebutkan cadangan minyak Blok Cepu di wilayah Blora mencapai 830,778 MMBOE atau separuh dari cadangan Bojonegoro sebesar 1.566,282 MMBOE.
Tahun 2012, dengan produksi sekitar 22 ribu barel tiap hari dari Blok Cepu, Pemkab Bojonegoro sudah mendapatkan dana bagi hasil Rp 70 miliar. Bandingkan dengan Blora yang belum ’’mendapat apa-apa’’, mengingat sumbangan dari migas pada tahun yang sama ’’hanya’’ Rp 3,5 miliar. Melihat realitas itu, terasa mendesak langkah advokasi bersama, baik oleh Pemkab Blora, Pemprov Jateng, maupun pemkab/ pemkot lain di provinsi ini.
Ada beberapa strategi supaya Jateng segera menikmati hasil dari Blok Cepu ini. Pertama; mendorong MCL, selaku operator Blok Cepu, untuk segera mengeksploitasi lapangan migas di wilayah Blora. Lewat penegasan itu secara otomatis Pemkab Blora dan Pemprov Jateng mendapatkan dana bagi hasil.
Kedua; memaksa MCL menyerahkan lapangan yang sudah dieksplorasi tapi belum dieksploitasi kepada operator lain, dalam hal ini kepada PT Pertamina. Hal itu bisa mendalihkan pada kesibukan MCL yang masih fokus menggarap lapangan Banyuurip Bojonegoro. Saat ini ada 4 lapangan dalam peta Blok Cepu, yang biasa disebut lapangan A, B, C, dan D, belum disentuh MCL.
Perbaikan Jalan
Ketiga; mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) migas untuk daerah terdampak. Dorongan ini sebagai kompensasi kepada daerah yang tidak mendapat dana bagi hasil karena terbentur UU tapi daerah itu terkena dampak negatif akibat eksploitasi migas.
Keempat; mendorong revisi UU Nomor 33 Tahun 2004. Opsi terkait dengan hasil revisi UU itu adalah dana bagi hasil diberikan dengan mendasarkan pada wilayah kerja pertambangan (WKP), bukan letak mulut sumur migas yang diekstraksi.
Selain problem DBH, participating interest (PI) Blok Cepu juga menjadi persoalan yang harus dikawal. Dalam PI Blok Cepu, Jateng disepakati memiliki saham 1.09%, dan dikelola oleh BUMD PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT). Dari partisipasi itu, pertama; publik harus mengawal transparansi SPJT dalam menyampaikan informasi dan data. Kedua; membentuk BUMD baru guna mengelola participating interest, memisahkannya dari manajemen SPJT.
Namun tingkat efektivitas dan efisiensi rencana ini harus dikaji secara matang mengingat badan usaha yang baru tersebut tidak dibebani untuk pengembangan profit bisnis. Persoalan migas tersebut kini menjadi tanggung jawab gubernur-wakil gubernur baru Jateng, dan layak menjadi program prioritas bila benar-benar ingin memajukan provinsi ini dan lebih menyejahterakan masyarakat. (10)
– Mohammad Khamdun, pegiat Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora
Dalam sejumlah kampanye pun, para kandidat tidak menyinggung pengelolaan potensi migas. Ketiga pasangan tersebut lebih banyak menawarkan program peningkatan pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Padahal Jawa Tengah memiliki cadangan potensial migas. Ada beberapa blok cadangan migas yang sedang dalam tahap eksplorasi, tapi ada beberapa yang sudah dieksploitasi.
Blok cadangan yang sudah dieksploitasi antara lain Blok Randugunting yang cekungan migasnya masuk wilayah Kabupaten Blora dan Rembang, Blok Gundih Kabupaten Grobogan, dan Blok Cepu Kabupaten Blora (sebagian cekungan masuk wilayah Bojonegoro Jatim).
Persoalannya, besar potensi itu tidak linier dengan sumbangan terhadap APBD Jateng, yang tahun 2012 tak lebih dari Rp 10 miliar.
Saat ini, minimal ada dua blok yang memiliki potensi migas cukup besar yang bisa dieksploitasi supaya bisa memberikan sumbangan signifikan pada struktur APBD provinsi ini. Pertama; proyek Pertamina Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora.
Eksploitasi oleh PT Pertamina itu guna memasok kebutuhan gas jaringan PLN melalui pipa, dari Desa Sumber Kecamatan Kradenan Blora hingga Tambaklorok Semarang, sejarak kurang lebih 140 km. Proyek itu diklaim sebagai proyek terbesar gas di Asia Tenggara dengan nilai Rp 12 triliun. Kapasitas maksimal produksi gas sumur di desa itu diperkirakan 65 million cubic feet tiap hari.
Kedua; Blok Cepu. Berbeda dari PPGJ, pengelolaan potensi Blok Cepu masih butuh kerja keras seluruh elemen di Jateng. Pasalnya hingga saat ini Pemkab Blora sebagai pemilik wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu, dan Pemprov Jateng, belum mendapatkan dana bagi hasil (DBH) migas dari blok yang dikelola PT Mobil Cepu Limited (MCL), anak perusahaan ExxonMobil.
Penyebabnya, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan pembagian dana bagi hasil harus mendasarkan pada lolasi mulut sumur migas. Saat ini baru sumur di Banyuurip Kecamatan Kalitidu Bojonegoro Jatim yang dieksploitasi oleh MCL. Meski secara geologi Blora dan Jawa Tengah punya 36% wilayah kerja pertambangan (WKP), dua pemda itu belum mendapatkan bagian dana bagi hasil (DBH).
Meski kita hanya memiliki 36% WKP, Blok Cepu bukan potensi kecil. Penelitian oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyebutkan cadangan minyak Blok Cepu di wilayah Blora mencapai 830,778 MMBOE atau separuh dari cadangan Bojonegoro sebesar 1.566,282 MMBOE.
Tahun 2012, dengan produksi sekitar 22 ribu barel tiap hari dari Blok Cepu, Pemkab Bojonegoro sudah mendapatkan dana bagi hasil Rp 70 miliar. Bandingkan dengan Blora yang belum ’’mendapat apa-apa’’, mengingat sumbangan dari migas pada tahun yang sama ’’hanya’’ Rp 3,5 miliar. Melihat realitas itu, terasa mendesak langkah advokasi bersama, baik oleh Pemkab Blora, Pemprov Jateng, maupun pemkab/ pemkot lain di provinsi ini.
Ada beberapa strategi supaya Jateng segera menikmati hasil dari Blok Cepu ini. Pertama; mendorong MCL, selaku operator Blok Cepu, untuk segera mengeksploitasi lapangan migas di wilayah Blora. Lewat penegasan itu secara otomatis Pemkab Blora dan Pemprov Jateng mendapatkan dana bagi hasil.
Kedua; memaksa MCL menyerahkan lapangan yang sudah dieksplorasi tapi belum dieksploitasi kepada operator lain, dalam hal ini kepada PT Pertamina. Hal itu bisa mendalihkan pada kesibukan MCL yang masih fokus menggarap lapangan Banyuurip Bojonegoro. Saat ini ada 4 lapangan dalam peta Blok Cepu, yang biasa disebut lapangan A, B, C, dan D, belum disentuh MCL.
Perbaikan Jalan
Ketiga; mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) migas untuk daerah terdampak. Dorongan ini sebagai kompensasi kepada daerah yang tidak mendapat dana bagi hasil karena terbentur UU tapi daerah itu terkena dampak negatif akibat eksploitasi migas.
Keempat; mendorong revisi UU Nomor 33 Tahun 2004. Opsi terkait dengan hasil revisi UU itu adalah dana bagi hasil diberikan dengan mendasarkan pada wilayah kerja pertambangan (WKP), bukan letak mulut sumur migas yang diekstraksi.
Selain problem DBH, participating interest (PI) Blok Cepu juga menjadi persoalan yang harus dikawal. Dalam PI Blok Cepu, Jateng disepakati memiliki saham 1.09%, dan dikelola oleh BUMD PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT). Dari partisipasi itu, pertama; publik harus mengawal transparansi SPJT dalam menyampaikan informasi dan data. Kedua; membentuk BUMD baru guna mengelola participating interest, memisahkannya dari manajemen SPJT.
Namun tingkat efektivitas dan efisiensi rencana ini harus dikaji secara matang mengingat badan usaha yang baru tersebut tidak dibebani untuk pengembangan profit bisnis. Persoalan migas tersebut kini menjadi tanggung jawab gubernur-wakil gubernur baru Jateng, dan layak menjadi program prioritas bila benar-benar ingin memajukan provinsi ini dan lebih menyejahterakan masyarakat. (10)
– Mohammad Khamdun, pegiat Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora
0 komentar:
Posting Komentar